Jumat, 07 September 2012

Zahrana, Dilema Cinta Gadis Terpelajar


Salah satu kesan saya usai membaca novel “Cinta Suci Zahrana” karya Habiburrhman El-Shirazi (Kang Abik), betapa dilemanya seorang gadis berprestasi saat dihadapkan pada pilihan mengejar cita-cita, karir atau berumah tangga. Diakui, lingkungan sosiologis kita masih berpandangan, bahwa priosritas seorang perempuan menjadi ibu dari anak-anak di samping isteri dari seorang suami. Setinggi apapun prestasi yang diraih, rasanya belum afdol bila kehidupan pribadi termasuk cintanya tidak sukses. Kang Abik menampilkan tokoh Siti Zahrana sebagai sosok gadis ambisius dan memiliki talenta luar biasa dalam bidang akademik. Ia terlahir dari keluarga biasa-biasa, ayah seorang PNS golongan rendah di kelurahan. Zahrana berhasil menyelesaikan S1 di Fakultas Teknik UGM Jogjakarta dan S2 di ITB. Nama Zahrana mendunia karena karya tulisnya dimuat di jurnal ilmiah RMIT Melbourne. Dari karya tulis itu, Zahrana meraih penghargaan dari Thinghua University, sebuah universitas ternama di China. Ia pun terbang ke negeri Tirai Bambu untuk menyampaikan orasi ilmiah. Di hadapan puluhan profesor arsitek kelas dunia, ia memaparkan arsitektur bertema budaya. Yang ia tawarkan arsitektur model kerajaan Jawa-Islam dahulu kala. Dari Thinghua University, Zahrana mendapat tawaran beasiswa untuk studi S3 di samping mendapat tawaran pengerjaan sebuah proyek besar. Namun Zahrana tidak hidup sendiri. Di tengah kesuksesan prestasi akademiknya, ia malah menjadi bahan kecemasan kedua orang tuanya. Kecemasan itu lantaran Zahrana belum juga menikah di usianya yang memasuki kepala tiga. Sudah banyak laki-laki yang meminangnya, namun Zahrana menolaknya dengan halus. Di sinilah konflik batin Zahrana mulai timbul, antara menuruti keinginan orang tua atau mengejar cita-cita. Sebenarnya Zahrana sudah mengalah. Ia tak menerima tawaran jadi dosen di UGM. Alasannya karena orang tuanya yang tinggal di Semarang tidak mau jauh. Zahranapun memilih mengajar di sebuah universitas di Semarang. Ia tetap bisa tinggal bersama orang tuanya. Zahrana juga mengalah pada orang tuanya hingga ia tidak mengambil tawaran beasiswa S3 di negeri China. Meski tak otoriter, kedua orang tua Zahrana berharap anak satu-satunya itu segera menikah dan memiliki keturunan. Sebagai orang tua yang sudah renta, khawatir semasa hidupnya tidak sempat menyaksikan Zahrana bersuami dan menimbang cucu. Apalagi bila melihat anak-anak tetangga seusia Zahrana, mereka sudah memiliki anak dua bahkan tiga. Sebenarnya dalam jiwa perempuan Zahrana, bukan tidak menghiraukan keinginan berumah tangga. Tetapi logika analitisnya selalu berargumen, menikah hanya menunda-nunda sukses bahkan bisa menghalanginya. Puncak konflik batin Zahrana ketika dilamar oleh seorang duda yang notabene atasannya sendiri. Ia dilamar dekannya, begitu kembali dari Thinghua University sehabis menerima penghargaan. Dengan tegas, Zahrana tidak menerima lamaran atasannya itu meski orang tuanya kecewa. Alasan Zahrana semata-mata persoalan moral atasannya yang terkenal suka meminta setoran kepada mahasiswa bila ingin nilai bagus bahkan suka bermain cinta dengan mahasiswanya sendiri. Di samping alasan moral, Zahrana tak mungkin menerima lamaran atasanya yang berusia kepala lima. Akibat menolak lamaran itu, Zahrana akan dipecat secara tidak hormat. Tetapi Zahrana mendahuli mengajukan pengunduran diri. Ia benar-benar hengkang dari kampus itu dan memilih mengajar di sebuah sekolah kejuruan teknik. Pasca lamaran, Zahrana sadar, ia harus cepat-cepat bersuami. Hati Zahrana berargumen lain, bisa saja dirinya melanjutkan cita-cita di dunia kademik meski sudah bersuami. Ia pun minta saran kepada pimpinan pondok pesantren yang masih saudara jauh teman akrabnya. Oleh pimpinan pondok pesantren Zahrana dipertemukan seorang pemuda yang dari sisi pekerjaan kurang prestisius. Pemuda itu pedagang kerupuk keliling dan Zahrana merasa cocok. Ia bertekad mengabdikan hidupnya kepada Allah melalui ibadah dalam rumah tangga. Kedua belah kelurga menyiapkan pesta pernikahan sederhana. Zahrana menyiapkan gaun pengantin. Bahagia sekali hati Zahrana. Ia meyakinkan diri tak lama lagi akan bersuami yang salih. Ia membayangkan esok hari, kisah penantian ini akan segera berganti. Namun bayangan itu sirna seketika saat menerima kabar calon suaminya meninggal, tertabrak Kereta Api yang tak jauh dari perkampungan. Saat itu pula Zahrana merasa sudah mati. Bayangan indah kini berganti dengan kabut tebal yang dipenuhi hantu kematian yang siap mencabik-cabik dirinya. Bunga-bunga cinta di hatinya, kini berganti dengan bunga kematian. Langitpun runtuh dan serasa menindihnya. Zahrana pingsan beberap kali hingga dilarikan ke rumah sakit. Beruntung Zahrana masih kuat melanjutkan hidup. Beberapa hari pascatragedi, ia hanya di rumah sambil menekuri diri. Sahabat-sahabat dan kerabatnya banyak yang berdatangan untuk sekedar mengucapkan duka cita termasuk teman-teman dan atasanya di kampus dulu mengajar. Salah seorang penjenguk, dokter perempuan yang sempat mengobatinya di rumah sakit. Perempuan itu ternyata ibunya mahasiswa bernama Hasan yang sekripsinya sempat dia bimbiang. Rupanya kedatangan ibu dokter ini sekaligus mengobati luka cinta Zahrana. Ibu dokter ternyata mengabarkan, anaknya, Hasan, berniat menikahinya. Betapa kaget dan bahagianya Zahrana. Seolah tak peracaya dengan nasibnya yang begitu bergelombang. Meski ragu menerima lamaran itu, Zahrana menyampaikan satu syarat. Bila anak ibu dokter benar meminangnya, ia minta agar pernikahannya nanti malam setelah shalat tarawih. Ia sangat trauma dengan tragedi yang menimpa satu malam menjelang pernikahannya dulu. Setelah dialog cukup panjang, tawaran itu diterima ibu dokter. Tepat jam tujuh malam, mereka melangsungkan pernikahan suci di masjid yang disaksikan para jamaah shalat tarawih. Malam pertama bulan Ramadhan yang indah menandakan berakhirnya penderitaan Zahrana. Ia menyempurnakan hidupnya dengan mencurahkan cinta sucinya. Kisah Cinta Zahrana, nampaknya penyempurnaan dari novel Habiburrhman sebelumnya. Kisah yang sama pernah dimuat dalam kumpulan novel ”Dalam Mihrab Cinta”. Tetapi dalam novel Cinta Suci Zahrana yang bukunya diterbitkan Ihwah Publishing House setebal 248 halaman ini, kisahnya lebih panjang lebar. Sementara bila dilihat dari analisis gender, kisah ini masih memposisikan perempuan dalam kondisi sangat dilematis. Meski perempuan berprestasi cemerlang, ia masih dituntut oleh lingkungan sosial untuk patuh pada tradisi yang telah mengakar kuat. Hingga terkesan –para perempuan yang diingkarnasikan pada sosok Zahrana– masih cacat hidupnya bila urusan privasi –salah satunya berkeluarga– belum tercapai. Namun nampaknya Habiburrhman sangat mafhum dengan kondisi masyarakat kita. Pada akhir novel ini terjadi kisah yang sangat akomodatif. Setelah menikah, Siti Zahrana masih akan melanjutkan studi S3 di perguruan tinggi ternama di China, sementara suaminya meneruskan studi S2 di Malaysia. Sepertinya Habiburrhman ingin menyampakan pesan, bila perencanaan hidup ini matang, semestinya tidak ada halangan bagi seorang perempuan sekalipun untuk mengejar prestasi setinggi-tingginya, tanpa mengenyampingkan asfek privasi.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More