Salah satu kesan saya usai membaca
novel “Cinta Suci Zahrana” karya Habiburrhman El-Shirazi (Kang Abik),
betapa dilemanya seorang gadis berprestasi saat dihadapkan pada pilihan
mengejar cita-cita, karir atau berumah tangga. Diakui, lingkungan
sosiologis kita masih berpandangan, bahwa priosritas seorang perempuan
menjadi ibu dari anak-anak di samping isteri dari seorang suami.
Setinggi apapun prestasi yang diraih, rasanya belum afdol bila
kehidupan pribadi termasuk cintanya tidak sukses. Kang Abik menampilkan
tokoh Siti Zahrana sebagai sosok gadis ambisius dan memiliki talenta
luar biasa dalam bidang akademik. Ia terlahir dari keluarga
biasa-biasa, ayah seorang PNS golongan rendah di kelurahan. Zahrana
berhasil menyelesaikan S1 di Fakultas Teknik UGM Jogjakarta dan S2 di
ITB. Nama Zahrana mendunia karena karya tulisnya dimuat di jurnal
ilmiah RMIT Melbourne. Dari karya tulis itu, Zahrana meraih penghargaan
dari Thinghua University, sebuah universitas ternama di China. Ia pun
terbang ke negeri Tirai Bambu untuk menyampaikan orasi ilmiah. Di
hadapan puluhan profesor arsitek kelas dunia, ia memaparkan arsitektur
bertema budaya. Yang ia tawarkan arsitektur model kerajaan Jawa-Islam
dahulu kala. Dari Thinghua University, Zahrana mendapat tawaran
beasiswa untuk studi S3 di samping mendapat tawaran pengerjaan sebuah
proyek besar. Namun Zahrana tidak hidup sendiri. Di tengah kesuksesan
prestasi akademiknya, ia malah menjadi bahan kecemasan kedua orang
tuanya. Kecemasan itu lantaran Zahrana belum juga menikah di usianya
yang memasuki kepala tiga. Sudah banyak laki-laki yang meminangnya,
namun Zahrana menolaknya dengan halus. Di sinilah konflik batin Zahrana
mulai timbul, antara menuruti keinginan orang tua atau mengejar
cita-cita. Sebenarnya Zahrana sudah mengalah. Ia tak menerima tawaran
jadi dosen di UGM. Alasannya karena orang tuanya yang tinggal di
Semarang tidak mau jauh. Zahranapun memilih mengajar di sebuah
universitas di Semarang. Ia tetap bisa tinggal bersama orang tuanya.
Zahrana juga mengalah pada orang tuanya hingga ia tidak mengambil
tawaran beasiswa S3 di negeri China. Meski tak otoriter, kedua orang
tua Zahrana berharap anak satu-satunya itu segera menikah dan memiliki
keturunan. Sebagai orang tua yang sudah renta, khawatir semasa hidupnya
tidak sempat menyaksikan Zahrana bersuami dan menimbang cucu. Apalagi
bila melihat anak-anak tetangga seusia Zahrana, mereka sudah memiliki
anak dua bahkan tiga. Sebenarnya dalam jiwa perempuan Zahrana, bukan
tidak menghiraukan keinginan berumah tangga. Tetapi logika analitisnya
selalu berargumen, menikah hanya menunda-nunda sukses bahkan bisa
menghalanginya. Puncak konflik batin Zahrana ketika dilamar oleh
seorang duda yang notabene atasannya sendiri. Ia dilamar dekannya,
begitu kembali dari Thinghua University sehabis menerima penghargaan.
Dengan tegas, Zahrana tidak menerima lamaran atasannya itu meski orang
tuanya kecewa. Alasan Zahrana semata-mata persoalan moral atasannya
yang terkenal suka meminta setoran kepada mahasiswa bila ingin nilai
bagus bahkan suka bermain cinta dengan mahasiswanya sendiri. Di samping
alasan moral, Zahrana tak mungkin menerima lamaran atasanya yang
berusia kepala lima. Akibat menolak lamaran itu, Zahrana akan dipecat
secara tidak hormat. Tetapi Zahrana mendahuli mengajukan pengunduran
diri. Ia benar-benar hengkang dari kampus itu dan memilih mengajar di
sebuah sekolah kejuruan teknik. Pasca lamaran, Zahrana sadar, ia harus
cepat-cepat bersuami. Hati Zahrana berargumen lain, bisa saja dirinya
melanjutkan cita-cita di dunia kademik meski sudah bersuami. Ia pun
minta saran kepada pimpinan pondok pesantren yang masih saudara jauh
teman akrabnya. Oleh pimpinan pondok pesantren Zahrana dipertemukan
seorang pemuda yang dari sisi pekerjaan kurang prestisius. Pemuda itu
pedagang kerupuk keliling dan Zahrana merasa cocok. Ia bertekad
mengabdikan hidupnya kepada Allah melalui ibadah dalam rumah tangga.
Kedua belah kelurga menyiapkan pesta pernikahan sederhana. Zahrana
menyiapkan gaun pengantin. Bahagia sekali hati Zahrana. Ia meyakinkan
diri tak lama lagi akan bersuami yang salih. Ia membayangkan esok hari,
kisah penantian ini akan segera berganti. Namun bayangan itu sirna
seketika saat menerima kabar calon suaminya meninggal, tertabrak Kereta
Api yang tak jauh dari perkampungan. Saat itu pula Zahrana merasa sudah
mati. Bayangan indah kini berganti dengan kabut tebal yang dipenuhi
hantu kematian yang siap mencabik-cabik dirinya. Bunga-bunga cinta di
hatinya, kini berganti dengan bunga kematian. Langitpun runtuh dan
serasa menindihnya. Zahrana pingsan beberap kali hingga dilarikan ke
rumah sakit. Beruntung Zahrana masih kuat melanjutkan hidup. Beberapa
hari pascatragedi, ia hanya di rumah sambil menekuri diri.
Sahabat-sahabat dan kerabatnya banyak yang berdatangan untuk sekedar
mengucapkan duka cita termasuk teman-teman dan atasanya di kampus dulu
mengajar. Salah seorang penjenguk, dokter perempuan yang sempat
mengobatinya di rumah sakit. Perempuan itu ternyata ibunya mahasiswa
bernama Hasan yang sekripsinya sempat dia bimbiang. Rupanya kedatangan
ibu dokter ini sekaligus mengobati luka cinta Zahrana. Ibu dokter
ternyata mengabarkan, anaknya, Hasan, berniat menikahinya. Betapa kaget
dan bahagianya Zahrana. Seolah tak peracaya dengan nasibnya yang begitu
bergelombang. Meski ragu menerima lamaran itu, Zahrana menyampaikan
satu syarat. Bila anak ibu dokter benar meminangnya, ia minta agar
pernikahannya nanti malam setelah shalat tarawih. Ia sangat trauma
dengan tragedi yang menimpa satu malam menjelang pernikahannya dulu.
Setelah dialog cukup panjang, tawaran itu diterima ibu dokter. Tepat
jam tujuh malam, mereka melangsungkan pernikahan suci di masjid yang
disaksikan para jamaah shalat tarawih. Malam pertama bulan Ramadhan
yang indah menandakan berakhirnya penderitaan Zahrana. Ia
menyempurnakan hidupnya dengan mencurahkan cinta sucinya. Kisah Cinta
Zahrana, nampaknya penyempurnaan dari novel Habiburrhman sebelumnya.
Kisah yang sama pernah dimuat dalam kumpulan novel ”Dalam Mihrab
Cinta”. Tetapi dalam novel Cinta Suci Zahrana yang bukunya diterbitkan
Ihwah Publishing House setebal 248 halaman ini, kisahnya lebih panjang
lebar. Sementara bila dilihat dari analisis gender, kisah ini masih
memposisikan perempuan dalam kondisi sangat dilematis. Meski perempuan
berprestasi cemerlang, ia masih dituntut oleh lingkungan sosial untuk
patuh pada tradisi yang telah mengakar kuat. Hingga terkesan –para
perempuan yang diingkarnasikan pada sosok Zahrana– masih cacat hidupnya
bila urusan privasi –salah satunya berkeluarga– belum tercapai. Namun
nampaknya Habiburrhman sangat mafhum dengan kondisi masyarakat kita.
Pada akhir novel ini terjadi kisah yang sangat akomodatif. Setelah
menikah, Siti Zahrana masih akan melanjutkan studi S3 di perguruan
tinggi ternama di China, sementara suaminya meneruskan studi S2 di
Malaysia. Sepertinya Habiburrhman ingin menyampakan pesan, bila
perencanaan hidup ini matang, semestinya tidak ada halangan bagi
seorang perempuan sekalipun untuk mengejar prestasi setinggi-tingginya,
tanpa mengenyampingkan asfek privasi.
0 komentar:
Posting Komentar