Sabtu, 08 September 2012

MENJADI ANAK KECIL



Menjadi Anak Kecil. Satu topik yang baca isinya mesti seksama.
Sebab bila salah tanggap, dikhawatirkan ada salah paham.
Bila tak teliti membaca dan terjadi mispersepsi, boleh jadi ada di antara pembaca status ini yang bener-bener ingin jadi anak kecil lagi.

Judul status ini sengaja dibuat, agar kita semua dapat fokus sejenak pada fenomena perilaku yang sudah biasa terjadi pada semua anak. Khususnya anak di masa-masa balita (masa bayi atau fase oral 0-1 tahun hingga fase falik 4-5 tahun) sampai dengan anak menjelang fase intelektual (sekitar 6-7 tahun).
Sebenarnya banyak perilaku anak yang menarik untuk kita amati. Tapi kini kita fokus saja pada satu fenomena sifat anak-anak, yaitu ketulusannya.

Bila kita perhatikan, tiap anak punya satu karakter yang polanya sama.
Setiap anak kecil di seluruh dunia, sifat khasnya selalu tulus.
Coba saja bayangkan. Anak-anak yang ditakdirkan punya ayah yang miskin, dia tetap menganggap orang tuanya itu sebagai ayah. Atau seorang anak yang wajah bapaknya pas jelek sekali, si anak itupun tetap saja ikhlas menerima sang bapak sebagai ayahnya.
Bahkan seorang anak di kota London yang ditakdirkan punya bapak miskin dan jelek, anak warga Inggris itu juga tetap saja konsisten memanggil ayahnya dengan sebutan daddy.

Di seantero negeri kita inipun, kita tidak pernah mendengar ada seorang anak yang mengeluh karena wajah bapaknya rada tampan, alias jelek.
Dan karena saking rada tampannya wajah sang bapak, si anak sampai-sampai berdoa di setiap mau tidurnya. Doanya kira-kira begini : “Ya Alloh, aku ni minta padaMu. Besok pagi saat ku bangun tidun, bapakku udah rubah jadi cakep. Kayak …, kayak Adjie Massaid deh !”.

Itulah gambaran ilustratif terhadap sebuah realitas yang faktual. Yaitu tentang satu pola karakter anak-anak sedunia, anak-anak di belahan bumi manapun, yang sifatnya selalu tulus, fitrahnya senantiasa ikhlas.
Betapa tulus-ikhlasnya seorang anak, sehingga bila ia dikaruniai takdir punya bapak yang sudah miskin, jelek, dan penyakitan pula, maka si anak itu tidak akan mau mengganti bapaknya dengan seorang sehat yang kaya, yang kekayaannya misal setara dengan hartanya Bill Gates dan wajahnya setampan almarhum Adjie Massaid.

Anak-anak seperti itu, tak akan mau ayahnya diganti dengan siapapun !
Anak-anak seperti itu, tidak akan sudi bapaknya tergantikan oleh siapapun !

Kemudian, sejalan dengan pertambahan usia anak, di fase intelektual (sekitar 6-7 tahun) dimana sang anak kian berkembang daya pikir analitisnya, maka akan semakin banyak pula keingin-tahuannya. Hingga 1001 pertanyaan ‘ini apa, itu mengapa’ kerap ia lontarkan.
Tapi sekali lagi, dalam ribuan hingga di berjuta lontaran pertanyaan itu, tak pernah satu kalipun seorang anak yang dikaruniai bapak berwajah rada tampan itu tadi mempertanyakan.
Misal dengan manja (tapi romannya rada cemberut) ia bertanya ke sang bapak : “Paaah …, kenapa wajah papah jelek sekali ?”.
Setiap anak tidak melontarkannya bukan karena pertanyaan seperti itu tak pas dengan norma sopan santun. Dan bukan pula karena pengetahuan akan sopan-santunnya masih sangat minim.
Tegasnya, hal itu tiada urusannya samasekali dengan acara adab sopan santun.
Melainkan karena si anak sudah ikhlas dan selalu ikhlas.
Fitrah setiap anak : mutlak murni ikhlas !
Yaitu dia sedemikian ikhlas menerima realitas apapun.
Sebab hakikatnya dia insan Islam, dia fitrahnya muslim.
Dia sadar dengan sebenar-benarnya kesadaran, bahwa realitas seperti itu adalah bagian dari Sunatullah. Yaitu bahwa semua realitas qadha-i dan qadari itu adalah Hak Sang Khalik, Hak Tuhan Yang Menciptakannya. Sehingga sebagai insan muslim responnya pun selalu tepat, yakni : ikhlas menerima dan berserah diri sahaja kepada Tuhannya.

Selanjutnya, dengan kian bertambah usia anak hingga dia dewasa, semakin banyak pula hal-hal yang mengintervensi (mempengaruhi) sehingga menginterverensi (mengganggu hingga ‘mengacaukan dan merusak’) nilai kemurnian fitrah ikhlasnya.
Karena dalam proses hidup dan kehidupan antar umat manusia, sejak di masa balita hingga akhir hayatnya selalu sarat dengan proses intervensi itulah, yaitu proses saling mempengaruhi di antara sesama insan, maka lama-kelamaan fitrah sang ikhlas itu jadi kian meluntur, menjadi semakin berkurang kemurniannya.

Kini di masa akil balig dan dewasa, kemudian ketika sudah menikah dan dia dikaruniai anak pula, si anak dulu itu jadi suka bikin aturan yang keluar dari Sunah Illahi.
Karena akibat negatif terkenai dampak interverensi, maka si anak yang dulu murni ikhlas itu jadi kerap berulah dengan ulah-perilaku yang menyimpang dari Hak-hak Robb-nya.

Faktanya bisa kita lihat a.l. dari hal-hal seperti ini :
Kita para orang tua suka menetapkan syarat tertentu agar anak-anak kita mau melakukan sesuatu. Misal bila anak mau belajar, dia dikasih permen. Syarat anak dapet sepeda (dibelikan sepeda) adalah bila ia rangking 5 besar di sekolah, dst. Dan bentuk-bentuk rangsangan (incentive motivation) seperti ini sah-sah saja, bila berdasar pola berpikir yang Kaaffah.
Akan tetapi jika pola pikir orang-tuanya pada parsial (berpola terkotak / terpisah), maka niscaya berakibat defects atau mengakibatkan kerusakan mental (alam pikiran) si anak.
Contoh pola pikir parsial akan nampak bila terhadap hal-hal (keduniawian) seperti itu selalu dirangsang dengan imbalan material tertentu, tapi misal jika si anak hingga usia pasca fase intelektual (lewat 7 tahun) nggak mau belajar shalat malah dibiarkan. Atau, bila anak mau belajar shalatpun orang tua menjanjikan sesuatu yang bukan dalam rangka pengenalan (memperkenalkan) Tuhannya, dan bukan pula karena pengenalan ilmu bahwa hal itu senyatanya adalah Hak Allah semata.

Ikhlas atau keikhlasan dalam berperilaku atau dalam setiap bentuk amalan, merupakan nilai yang sangat mendasar.
Uraian singkat di atas ialah salah satu bentuk penegasan, bahwa betapa penting nilai keikhlasan diri. Sebab keikhlasan adalah syarat mutlak mengalirnya ridha Allah. Dan ridha Illahi inilah NILAI HIDUP setiap insan Islam yang mesti dia perjuangkan di sepanjang masa hayat hidup dan hajat kehidupannya di dunia ini.

Taraf keikhlasan seseorang niscaya akan nampak tercermin pada pola perilaku dirinya sendiri serta akibatnya bagi lingkungan di sekitarnya.
Dengan catatan bahwa sebenar-benarnya nilai ikhlas, tentu hanya Allah sahaja yang Maha Mengetahuinya.
Dalam hal apapun, termasuk dan terlebih lagi dalam upaya memperbaiki nilai ikhlas diri kita masing-masing ini, maka acuannya mestilah Al Qur’an dan as-Sunnah.
Olehkarenanya dalam upaya memperbaiki nilai ikhlas diri dan ikhtiar meningkatkan kualitasnya, setelah Qur’an, pertama-tama kita harus mencontoh sunnah Rasulullah, karena perilaku beliau itulah sebaik-baik dan sebenar-benarnya teladan.
Adapun praktiknya tentu mesti melalui proses tolabul ilmi, harus melalui wacana mencari ilmu.

Di samping itu dari sisi keilmuan kontemporer, ada satu gagasan dari kalangan non muslim yang nampaknya patut kita jadikan tambahan ilmu. Dan sepanjang bernilai benar, maka ilmu yang digagas oleh kalangan manapun mestilah kita serap serta diamalkan. Karena hal kebenarannya itu, pastilah bersumber dari Allah jua.
Seorang psikiater asal Amrik bernama pak Thomas A. Harris (1910-1995), penulis buku best seller berjudul I’m Ok – You’re Ok (1967), mengemukakan tentang konsep model PAC (parent, adult, child).
Di situ ia kemukakan 3 (tiga) jenis ciri ego manusia, yaitu ego orang tua yang bijaksana namun cenderung menghakimi, ego orang dewasa yang logis-rasional namun cenderung kaku, dan ego anak kecil yang spontan-bersahabat tapi tak mau bertanggung-jawab.

Islam adalah agama yang memandang hal apapun secara kaaffah (menyeluruh), sehingga ketika insan-insan Islam MAU menerapkannya, niscaya akan selalu bermanfaat serta zero defect (terhindar dari berbagai kebathilan).
Dalam konteks zero defect, maka teori PAC pak Thomas itu kita ambil sisi-sisi positipnya, dan membuang yang serba negatifnya. Sehingga berdasar model PAC itu, sebagai insan-insan yang akil balig kita terapkan prinsip : bijaksana dan tak mudah menghakimi, bersikap rasional dan bertanggung-jawab, dan berusaha hangat-bersahabat kepada siapapun.

Hikmah terpenting dari seluruh uraian itu ialah bahwa bila dulu kita bisa benar-benar tulus-ikhlas, maka kini di saat-saat inipun, kita bisa ikhlas dan harus ikhlas !
Sebab ikhlas ialah syarat mutlak meraih ridha Allah, dan sekaligus akan menentukan kualitas jati diri kita sendiri.

Kita semua pernah jadi anak kecil.
Dulu, di sekian puluh tahun yang lalu itu, kita semua adalah insan-insan yang ikhlas dan sedemikian murni pula keikhlasan kita itu.
Namun sayang, semua itu kini tinggal kenangan.
Semuanya itu kini telah terbenam dalam relung-relung memori di kesadaran kita.
Walau entah tinggal seberapa persen kadar keikhlasan kita kini, kita mesti yakin bahwa di saat-saat inipun kita bisa berlaku ikhlas dalam hal apapun.
Sebab senyatanya memang kita harus ikhlas !

Satu cara untuk kembali bisa ikhlas, yaitu tak lain adalah balik kembali 'menjadi anak kecil'.
Dan konteksnya tentu samasekali bukan dengan cara berganti pakaian dengan kutung model anak-anak balita.
Melainkan mencoba meluangkan waktu untuk sejenak berkontemplasi, bertafakur atau bermuhassabah dengan diri sendiri guna me-retrieve, guna menggali serta menemukan kembali serpihan nilai-nilai ikhlas di dalam memori kesadaran kita.
Dengan niat serta tekad yang kuat, yang disertai kesungguhan dalam berikhtiar untuk selalu ikhlas, serta selalu diiringi doa ke hadhirat Illahi, insya Allah kita akan berhasil menemukan serpihan-serpihan sang ikhlas itu.

Kemudian, tolok ukur keberhasilan menemukan serpihan keikhlasan diri itu tentu mesti tercermin pula dalam setiap ucap-perilaku atau di setiap amalan kita.
Yaitu bila merujuk pada model PAC, salah satu tolok ukurnya ialah apakah kita sudah bisa dan terbiasa berlaku : bijaksana, bersikap nalar-rasional, serta hangat-bersahabat kepada siapapun.
Sebab semua ciri-ciri itu pulalah yang antara lain nampak pada insan yang paling ikhlas di seantero alam. Insan mulia yang amat kita cintai, insan yang kita diperintahkan untuk sekerap mungkin bershalawat kepadanya, dengan ucapan : Allahumma shalli ala Muhammad wa'ala alihi wasohbihi wassalam ....

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More