Sabtu, 08 September 2012

ILMU


Pengetahuan atau sesuatu yang diketahui oleh manusia terbagi ke dalam 2 (dua) jenis.
Yaitu pengetahuan yang diperoleh manusia dari proses pikir, dan yang diketahui manusia tanpa melalui proses pikir atau tidak memerlukan proses berpikir samasekali.
Bentuk-bentuk (neumena) persepsi yang tidak memerlukan proses berpikir itu (proses ini kita sebut refleks akal), berupa pengetahuan.
Dalam hal ini, pengetahuan ini kita tetap istilahkan demikian (setidaknya di status ini).
Adapun setiap pengetahuan yang dihasilkan dari proses berpikir disebut ilmu pengetahuan atau ilmu.

Contoh proses refleks akal nampak a.l. pada saat tangan kita dicubit, saat melihat ada ucing lewat, dan di saat mencicipi gula pasir.
Dengan tanpa usah berpikir samasekali, seketika itu kita jadi tahu akan benarnya rasa sakit di tangan, si ucing, dan benarnya neumena rasa manis.
Kemudian pada saat setiap pengetahuan itu dipikiri, yaitu melalui proses pikir analitis (atau dianalisis), terlepas dari (sudah) benar atau (masih) salahnya, maka produk atau hasil olah pikir seperti itu menjadilah sebagai ilmu. Yaitu ilmu yang bernilai (sudah) benar ataupun (masih) salah.


Demikian itulah gambaran singkat tentang pola dasar proses terbentuknya pengetahuan beserta ilmu di dalam benak manusia.
Dan pola tersebut berlaku terhadap segala realitas yang mampu dipersepsi manusia, termasuk ketika dia mempersepsi Al Qur’an.

Ada beberapa hal yang perlu kita soroti dari prinsip ilmu.
Fungsi utama berpikir (khususnya berpikir analitis) yang produknya berupa ilmu itu ialah untuk BERAMAL.
Oleh sebab itu ilmu jadi benar-benar layak disebut ilmu jika diamalkan. Ilmu selalu melekat atau berkait erat dengan amal.
Sementara bila tiada amalannya, maka sang ‘ilmu’ itu hanya pantas disebut sebatas sebagai hapalan.

Setiap manusia tidak dapat melepaskan diri dari proses pikir. Manusia adalah satu-satunya mahluk berilmu, sebab dia selalu berpikir sesuai dengan kapasitas daya pikirnya.
Dengan demikian proses pikir manusia selalu simultan (berproses secara berkelanjutan), sehingga produk pikirnya pun nampak bagaikan ‘bertumpuk’.
Yaitu bertumpuknya antara seabreg pengetahuan, pengetahuan yang menjadi ilmu (yang sudah diamalkan), ilmu yang sebatas baru diketahui (atau hapalan), ilmu yang kemudian menjadi landasan bagi terbentuknya ilmu-ilmu baru, dst.

Di samping itu, ada satu ciri (perbedaan) yang sangat mendasar antara ilmu dan pengetahuan.
Setiap pengetahuan tidak berkait dan tidak memerlukan ungkapan leksikal (bentuk kata-kata) yang seperti apapun.
Sementara setiap ilmu selalu berkait dan selalu disertai dengan ungkapan kata atau sebutan.

Dari sisi pengetahuan, semua manusia di seluruh dunia yang berbeda-beda bahasa sudah pada tahu tentang rasa sakit, si ucing, dan rasa manis itu.
Dan benarnya ketiga contoh / fakta itu saat diketahui sebagai pengetahuan, jelas tidak memerlukan sebutan apapun.
Satu contohnya seperti pada sebutan rasa manis dari gula pasir. Maka apakah rasa itu mau disebut amis (Sunda), halwa (Arab), sweet (Inggris), dulce (Spanyol), süβ (Jerman), dsb, toh pola rasanya tetap sama saja sebagai sang manis yang itu-itu juga.
Itulah bahwa dari sisi pengetahuan, setiap kebenaran yang diketahui manusia jadinya selalu bersifat mutlak, sehingga dapat kita katakan tak perlu sebutan samasekali.
Bilapun saat ini kita menyebut-nyebut ketiga contoh itu melalui tulisan di forum FB ini, karena kita tengah mengkajinya dengan ilmu dan sebagai objek keilmuan.

Bila setiap pengetahuan manusia tidak dipikiri (lebih lanjut atau secara simultan), dan jadinya juga tiada pernah disebut dan tidak ada sebutannya, maka akibatnya bukan saja jadi tak ada ilmunya. Melainkan setiap pengetahuan itupun menjadi tiada (jadi tidak diketahui manusia).
Mobil, TV, komputer, website, Al Qur’an digital, dsb, yang dewasa ini faktanya sedemikian bertebaran mendunia dan diketahui serta disebut oleh manusia di seluruh dunia, jelas karena semua realitas itu benar-benar ada dan diamalkan (baik berupa amal baik maupun amal buruk / didustakan) oleh umat manusia.
Berabad-abad yang lalu, umat manusia di jaman itu tidak tahu sebutan-sebutan itu, karena realitasnya belum ada, sebutannya pun tiada, sehingga karena tiada / belum diketahui maka tidak relevan pula berbicara tentang pengamalan terhadap bentukan-bentukan realitas itu.
Dari situ nampaklah bahwa ilmu dan pengetahuan tak dapat dipisahkan. Keduanya bagaikan dua sisi berbeda pada koin.
Bila yang satu dihilangkan, maka yang lainnya pun jadi tiada.

Yang lebih menarik lagi, Al Qur’an yang kita ketahui dan kita terima ialah berbentuk kitab leksikal. Walau (agak) sepola, tapi hal ini jelas berbeda dengan yang diterima oleh para Nabi / Rasul yang menerimanya dalam bentuk wahyu.
Dari uraian di atas nampak bahwa salah satu alasan penting mengapa Al Qur’an yang kita terima berbentuk kitab leksikal (atau wahyu bagi para Nabi / Rasul), yaitu dalam hal ilmu dan amal atau pengamalannya.
Selain sebagai sumber ilmu, Al Qur’an akan benar-benar jadi bernilai bagi para perseptor yang mengimaninya ialah jika dan hanya jika nilai-nilai Al Qur’an itu DIAMALKAN.

Wallahu’alam bisshawab.
Subhanallah wabihamdihi, subhanallahil’adziim …..

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More